Jumat, 06 Januari 2017

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA



A.   TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA


1.       Pengertian Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara etimologis istilah “tolerantia” dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada Revolusi Perancis. Hal itu terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti Revolusi Perancis.

Dalam bahasa Inggris “tolerance” yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Sedangkan dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata “tasamuh” yaitu saling mengizinkan atau saling memudahkan.

Kemudian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan toleransi dengan kelapangdadaan, dalam artian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan orang lain. Sedangkan dalam pandangan para ahli, toleransi mempunyai beragam pengertian. 

Micheal Wazler (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan identitas.

Sementara itu, Heiler menyatakan toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan harus dijadikan sikap menghadapi pluralitas agama yang dilandasi dengan kesadaran ilmiah dan harus dilakukan dalam hubungan kerjasama yang bersahabat dengan antar pemeluk agama.

Secara sederhana, toleransi atau sikap toleran diartikan oleh Djohan Efendi sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebih dari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.
2.       Toleransi Antar Umat Beragama
Dengan demikian toleransi dalam konteks ini berarti kesadaran untuk hidup berdampingan dan bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda-beda. Sebab hakikat toleransi terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat utama bagi setiap individu yang ingin kehidupan damai dan tenteram, maka dengan begitu akan terwujud interaksi dan kesefahaman yang baik di kalangan masyarakat beragama.
Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya" Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Seperti diketahui, persoalan agama merupakan hal yang sensitif, karena menyangkut hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Agama menyangkut kesadaran religius, yang tersembunyi dalam setiap individu. Jadi keimanan beragama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan cara mewajibkan atau melarang agama tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap hak pribadi (Siagian, 1987). Oleh karena itu penghinaan atau penghujatan terhadap suatu agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit untuk diatasi, apalagi hanya memandang dari perspektif hokum positif.
Berdasarkan sejarah masa lalu sebenarnya, menurut Parsen (dalam Koentjaraningrat, 1982) Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama di dunia. Keaneka-ragaman agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan atau pertentangan, namun justru menunjukkan adanya saling toleransi, kerjasama dan saling menghormati.
Lebih lanjut Parsen (Adisubroto, 1993/1994) menjelaskan pula bahwa hanya Indonesia yang mempunyai rasa keagamaan monoteisme yang demikian menyatu secara alamiah dengan masyarakatnya. Hal itu tercermin dalam cara hidup di desa-desa yang tidak lepas dari dasar-dasar religius, seperti misalnya adanya berbagai bentuk selamatan. Ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan yang disakralkan oleh agama tertentu.
Jadi pada dasarnya umat beragama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar untuk mampu hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian searah dengan perubahan yang terjadi di masyarakat menyebabkan perubahan pula dalam hubungan kehidupan keagamaan, antara lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disulut oleh faktor perbedaan agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang mendasar dan bermacam-macam. Perubahan tersebut searah dengan semakin majunya masyarakat menuju era modernisasi dan globalisasi dalam segenap bidang kehidupan.
Modernisasi dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan-perubahan tersebut antara lain meliputi :
1)      Bidang politik; dari sistem-sistem yang menganut kekuasaan kepala adat / desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, perwakilan, dan birokrasi. Selain itu persoalan keagamaan "dilarikan" menjadi persoalan politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk membesarkan suatu kelompok / sekte agama tertentu. Akhirnya persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya.
2)      Bidang teknologi; masyarakat yang sedang berkembang mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional ke arah penggunaan teknologi hasil pengetahuan ilmiah. Perangkat tehnologi komunikasi yang semakin canggih akan mengurangi sensitivitas dan keterdekatan secara social antara satu individu dengan individu lainnya. Akhirnya akan mempermudah pada keberpihakan pada kepentingan individual daripada menuntaskan kepentingan bersama.
3)      Bidang pendidikan ; masyarakat sekarang berusaha keras meningkatkan kemampuan baca tulis dan mengurangi buta huruf untuk menambah pengetahuan dalam berbagai hal/bidang kegiatan. Namun demikian berpengaruh pula dalam penafsiran akan Firman Allah yang mulai menggunakan rasio (logika). Hal inipun menjadi bibit persoalan internal kelompok beragama maupun antara umat berlainan agama. Padahal kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah teks selalu banyak mengalami kelemahan (Jamuin, 1999), apalagi menyalahi ketentuan Agama (Mudzakarah dalam Almuslimun, 1998).
4)      Bidang sosial ; adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada desa/adat istiadatnya serta kepatuhan pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Selain penyelesaian persoalan yang bisa dilakukan secara adat/ budaya berubah menjadi penyelesaian secara hukum. Padahal sebagaimana diketahui penyelesaian hukum tidak akan efektif karena akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan berbelit-belit.
Masih banyak lagi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya pengaruh sosial dari kekuatan sosial yang bermacam-macam bentuknya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa / masyarakat di dunia ini. Pada penelitian Chen (dalam Brouwer,1989) tentang proses modernisasi di Singapura menemukan bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan akibat adanya modernisasi di segala bidang kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan relasi paternalistis dalam perusahaan, relasi antara anak dan orang tua yang semakin mengendor, gotong royong dan hidup bersama menjadi berkurang serta relasi persaudaraan yang longgar.
Kemajuan teknologi dari negara-negara Barat mau tidak mau akan terus merambah deras ke negara-negara lain di dunia ini, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Masyarakat dunia akan menganggap bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan. Hal ini karena modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya (Matulessy, 1992). Namun demikian seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai hubungan sosial atau keberagamaan.
3.       Faktor Penyebab Pertentangan Antar Umat Beragama
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan antar umat beragama, antara lain:
1)      Adanya prasangka social
Prasangka merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya. Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen (merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.
2)      Fanatisme yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama
Pertentangan antar umat bergama bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-agungkan agamanya, namun menganggap rendah agama lain. Akhirnya segala hal yang menyangkut agama lain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati. Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar umat beragama. Hal ini oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah kehidupan yang lain.
3)      Kurangnya komunikasi
Suatu pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam mengkomunikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan diantara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan beragama, suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh agama tertentu dipersepsikan keliru oleh agama yang lain. Hal tersebut karena kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara umat beragama agar tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang dikomunikasikan.
4)      Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan social, politik, ekonomi
Kepentingan agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya. Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding yang lain
.
5)      Kurangnya wawasan akan ilmu keagamaan
Sebagaimana diketahui cara pemahaman masyarakat akan kehidupan beragama lebih diarahkan pada kegairahan beragama, bukan pada perluasan cakrawala keagamaan. Akhirnya masyarakat lebih mementingkan kharismatisme dan pengkultusan tokoh agama, bukan pada cara-cara menggunakan analisis atau pemahaman hakekat keagamaannya (Isngadi dalam Surya, 11 April 1997). Hal inilah yang kadang-kadang bisa menimbulkan deindividuasi pengikut keagamaan untuk selalu mengikuti kehendak pemimpin keagamaan yang belum tentu selalu benar.
6)      Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan agama. Agama bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.

4.       Beberapa Cara Menumbuhkan Rasa Toleransi antar Umat Beragama
1)    Menanamkan sikap tenggang rasa, saling menghormati pada anak sedini mungkin. Disini peran keluarga sangat besar, orangtua hendaknya menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anaknya sejak dini. Sehingga nilai-nilai ini akan tertanam dan membentuk suatu sikap dan perilaku anak yang mempunyai rasa toleransi yang tinggi ketika dewasa.
2)    Tingkatkan Kualitas Pendidikan Masyarakat
Di sekolah kita diajarkan tentang toleransi, siswa diberikan pemahaman tentang kemajemukan masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat dan agama. Sehingga masyarakat indonesia harus menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan yang ada, siswa diajarkan untuk menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda dengan dirinya, sehingga dapat hidup damai bersama-sama. Oleh karena itu sangat penting untuk mengingkatkan pendidikan masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat indonesia yang cerdas dan memiliki rasa toleransi yang tinggi. 
3)    Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan.
Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara umat beragama, serta refleksi & renungan keagamaan untuk mensikapi perbedaan visi keagamaan.
4)    Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik
Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan agama merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpin agamanya (politik), ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan agamanya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.
5)    Tingkatkan wawasan akan ilmu keagamaan.
Setiap agama mengajarkan akan cinta kasih dan perdamaian, tetapi masih banyak umat di masing-masing agama yang belum memahami dan menjalankannya secara sungguh-sungguh. Sehingga masih terjadi perselisihan antar umat beragama, dengan meningkatkan wawasan akan ilmu kegamaan ini diharapkan umat dapat memahami dan menjalankan ajaran agamanya secara baik dan sungguh-sungguh.
6)    Tingkatkan rasa persatuan
Semboyan bangsa indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua” harus dipegang teguh oleh seluruh lapisan masyarakat indonesia. Rasa persatuan bahwa kita suatu bangsa yang satu yaitu bangsa indonesia. Seperti yang telah ditanamkan oleh para pendiri bangsa untuk mencapai cita-cita bangsa.  Maka tentunya rasa toleransi harus terus ditingkatkan, sehingga kita bisa seiring sejalan dalam perbedaan.

Tanpa adanya toleransi antar kelompok agama, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai.

B.    CONTOH TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA


Salah satu contoh toleransi antar umat beragama berikut ini adalah suatu berita yang dimuat di cnnindonesia.COM yang berjudul : “Berbagi Lahan Parkir, Toleransi Sarat Makna Katedral-Istiqlal” pada hari jum’at, 17/07/2015. 

Jakarta, CNN Indonesia -- Suara merdu azan zuhur dari Masjid Istiqlal siang itu seolah menjadi lonceng kesadaran bagi para umat Katolik yang tengah berdoa di Gereja Katedral.
Vincensius Alexander Irwandy (47) tetap khusyuk berdoa. Dengan mata terpejam dan jari-jari yang terlipat, ia memanjatkan doa di depan altar.

"Kami sama sekali tidak terganggu dengan suara azan. Sebagai sesama umat beragama, kami saling menunjukkan sikap toleransi," kata Vincensius kepada CNN Indonesia, di Katedral, Jakarta, Kamis (16/7).

Toleransi antara umat beragama dapat tampak dalam berbagai hal, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Misalnya, berbagi lahan parkir.
Dituturkan oleh Hendrik, karyawan Gereja Katedral, tradisi berbagi lahan parkir antara Katedral dan Istiqlal telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun.

Terutama untuk momen Hari Raya Idul Fitri, Katedral menyediakan lahannya untuk digunakan sebagai tempat parkir umat muslim yang Salat Id Istiqlal.

"Begitu juga saat Natal, Istiqlal akan mengizinkan lahannya untuk tempat parkir umat kami," kata Hendrik.

Hendrik menuturkan, toleransi antara pihak Katedral dan Istiqlal cukup erat. Dari tahun ke tahun pun, kata Hendrik, umat Katolik di Katedral semakin merasa aman dalam melaksanakan misa Natal.

"Saya pikir, untuk kawasan Jakarta, toleransi umat beragama cukup baik," katanya.

Hal senada diungkapkan Vincensius. "Kami makin merasakan aman saat beribadah," ujarnya.

Hendrik juga menuturkan bahwa tahun ini Keuskupan Katedral mengundang para ulama dari Istiqlal untuk buka bersama. Hal itu, menurut Hendrik, semakin menguatkan toleransi antara umat Islam dan Katolik.

"Kemarin baru saja uskup gereja menjadi tuan rumah untuk acara buka bersama dengan para ulama. Saya kira itu bentuk toleransi yang patut diapresiasi," katanya.

Pada Jumat (17/7), umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah. Pihak Katedral telah mengizinkan lahannya untuk dipakai sebagai tempat parkir umat Istiqlal yang hendak menjalankan Salat Id.

"Silakan parkir di sini. Ini sudah jadi tradisi setiap tahunnya," kata Hendrik (hel)

Berita diatas merupakan suatu contoh konkrit yang terjadi di jakarta, hal ini menjelaskan bahwa hidup berdampingan dengan harmonis antar umat beragama membuat kehidupan menjadi lebih indah dan setiap permasalahan yang dihadapi masing-masing umat menjadi lebih ringan dengan adanya kerjasama, saling membantu dan tolong menolong.   

                Referensi :



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar